Home » , , , , , , » Cerpen - Dua hari sebelumnya

Cerpen - Dua hari sebelumnya

Dua Hari Sebelumnyacerpen,cerita pendek,luqman sastra 


karya : Luqman Sastra
Kepulan asap hitam menyebar seperti mendung diatas langit. Suara deru mesin berlomba untuk mencari siapa yang lebih keras. Wajah-wajah berang terpancar dari para supir angkot dan pengendara lainnya, lantaran udara begitu panas tapi mereka harus terjebak lampu merah pada perempatan jalan. Suara penjual Koran juga mengaung diantara deru suara mesin, berharap akan ada yang membeli.

Di antara hiruk pikuk keadaan di perempatan, ada sesosok wajah yang tak pantas berada di sana, seorang anak perempuan dengan pakaian lusuh, dan berusia sekitar dua belas tahun. Mengacungkan telapaknya kepada para pengendara. Dan sesekali mereka memberikan uang receh.


Siapa yang tak kenal dia, semua penjual dan orang-orang yang sering di perempatan tahu siapa anak kecil itu. Dia adalah Ani, anak dari Suryani si pelacur yang juga sering mangkal di perempatan waktu malam. Ani adalah anak yang sejak lahir tidak diinginkan kehadirannya. Dari dulu ia diperlakukan kasar oleh ibunya.

Wajah Ani hari itu begitu sayu, ia belum sarapan pagi, tangannya terlihat kotor dan kecoklat-coklatan akibat setiap hari mengemis. Setiap lampu perepatan sudah hijau ia berteduh pada pohon di pinggir jalan. Berdiam diri sambil menghitung hasil pendapatannya, sesekali uang itu ia sisakan untuk membeli minuman atau makanan. Tapi karena uang itu sangat sedikit maka ia urungkan niatnya untuk beli makanan, karena ibunya pasti akan memukulnya bila hanya mendapat uang sedikit. Pernah dulu ia membeli makanan walaupun uang yang ia dapat sangat sedikit, sampai dirumah ia pukul dan ditampar oleh ibunya sendiri. Maka ia sangat takut pada ibunya.




Siang itu perut Ani seperti menangis dan menjerit, tenggorokannya seakan tak ada cairan, uang yang ada tak cukup untuk mengobati kelaparan dan kehausan. Apa boleh buat, ia urungkan niatnya membeli makanan. Ketika habis ashar, ia dapati seorang pengendara yang memberikan ia uang cukup besar baginya.

“wah…lima ribu, terima kasih bu…” jawabnya dengan gembira.

Dimasukkannya uang itu dalam kantung celananya. Uang Ani mulai terkumpul banyak, tapi untuk ibunya, uang itu tak cukup banyak. Maka ia dia hanya membeli sebuah minuman untuk mengisi perut laparnya. Dia mulai berjalan ke sebuah warung dekat perempatan. Warung itu sedikit gelap karena cahaya matahari tak masuk, dari jauh sudah terlihat kerumunan orang yang keluar masuk pintu warung. Penjualnya adalah seorang ibu yang berbadan sangat subur, penjual itu bernama Saminah, atau para pelanggan biasa memanggilnya mbok Minah. Dengan cirri khas rambutnya yang diukal, tangannya mulai mencampur-campurkan nasi dengan lauk pesanan pelanggan. Tangannya begitu cepat, lantaran sudah hapal letak-letak lauk. Mbok Minah menjual minuman dan nasi dengan lauk pauk yang bermacam-macam, seperti ikan, tempe, telur, dan lain-lain. Dalam berjualan dia hanya dibantu dua pegawainya. Walau begitu, warung dengan luas sekitar lima meter ini cukup laris.

Mbok Minah sudah kenal dengan Ani, ia tahu kondisi yang di hadapi anak itu. Insting seorang ibunya muncul ketika ia melihat Ani yang terlihat kurus dengan baju yang lusuh. Maka kadang-kadang Ani membeli minuman tanpa membayar. Warung mbok Minah dulu pernah rusak gara-gara banjir yang menggenangi kawasan desa. Dagangannya hanyut tak bisa terselamatkan. Seminggu ia tak berdagang dan mengungsi ke kawasan tinggi.

Selang waktu, akhirnya Ani mampu bertatap dengan Mbok Minah, setelah tadi berdesakan dengan pembeli lain yang mengantri.

“Mbok aku beli es tehnya satu ya!” lantang suara Ani diatara suara lainnya.

Mbok Minah yang merasa sudah akrab dengan suara itu langsung mencari sumber suara.

“Oh..kamu nok, iya sebentar ya! Neng!... buatin es Teh satu!” suruhnya pada pekerjanya.

“Ini nok..!”

“Iya mbok, ini….lima ratuskan?” diulurkan tangannya yang memegang uang lima ratus.

“Alahh.. tak usah nok, disimpan saja, mungkin bisa buat beli keperluan lain” suara simbok terpecah suara pembeli lain yang mulai banyak berdatangan.

“Makasih ya Mbok” jawab Ani yang mulai terdesak dan keluar kerumunan.

Bayangan benda mulai memudar, langit menguning sedikit merah, waktunya Ani pulang kerumah. Di telusurinya jalan yang berliku, tanpa alas kaki ia berjalan melewati jalan setapak yang langsung menuju rumahnya. Rumah ani tak cukup besar, ia dan Ibunya hanya mengontrak, rumahnya sangat kecil. Sebagian besar yang membayar kontrakan adalah Suryani dengan uang hasil melacurnya. Ani begitu kaku ia berjalan, bermuram wajahnya, teman-teman yang menyapanya tak ditanggapi, karena ia sudah benar-benar tak bertenaga. Ani memang terkenal orang yang pendiam, walau begitu, ia tetap senang bermain dengan teman-teman yang lain.

Sampai di dalam rumah, ia masukkan hasil mengemisnya ke dalam sebuah wadah besi bundar yang sedikit berkarat. Sudah semestinya ia meletakkannya di situ, karena ia ingat muka seram ibu ketika ia lupa memberikan uang pada tempatnya. Sesungguhnya dia sudah begitu lapar dan berpikir untuk mengambil uang di kaleng, tapi lagi-lagi ia terngiang wajah ibunya ketika marah.

Sehabis itu, ia membujur pada tempat tidur, berharap rasa laparnya akan hilang bila ia tidur. Hari itu ia akhiri dengan tak makan sama sekali. Padahal sehari sebelumnya ia juga tak makan hanya minum.


Terlalu lelah ia seharian ini, akhirnya ia terlelap atas jeritan cacing-cacing dalam perutnya. Wajah polosnya tertutupi sendu atas takdir yang menimpanya.

Kokok ayam mulai berdendang mengawal mentari yang akan menjelang datang dengan cahaya hangatnya atas malam yang dingin. Ani yang merasa kedinginan terbangun paksa. Ia baru sadar tak memakai selimut, sepertinya ia lupa dan tertidur lelap. ia pun bangun dan sedikit menggigil. Ia mencoba bangun tapi badanya terasa tak ada daya. Hati Ani bingung apa yang harus ia lakukan. Ia tak sanggup berdiri. Apa mungkin karena kemarin tak makan sehingga badanya lemas?tanyanya pada diri.

Beberapa menit kemudian ia merasa bertenaga dan sanggup berdiri. Benar, Ani mulai sanggup berdiri, ia berjalan keluar kamar, dilihatnya dengan mata yang sayu kaleng yang ia isi kemarin sore. Ia rogoh, ternyata sudah tidak ada. Ternyata Suryani tadi malam pulang dan mengambil uangnya. Tapi ia langsung pergi. Tidak aneh Ani melihat keadaan ini. Ia sudah biasa dengan Ibunya yang pulang hanya mengambil uang hasil mengemisnya. Terkadang Ibunya meninggalkan nasi di meja kecil. Tapi selama tiga hari ini tak dapati. Terpaksa ia menahan lapar lebih lama lagi.

Ibunya sudah tak perduli lagi dengan Ani. Semua itu terjadi sejak ayahnya meninggal. Ibunya mulai frustasi dengan kehidupan yang serba kekurangan. Dulu, Suryani dan Ani tinggal dalam rumah sendiri bersama ayahnya. Rumah itu layak ditinggali. Ayah Ani bernama Bardi, dia adalah supir angkot yang bekerja seharian untuk membiayai Suryani yang saat itu mengandung Ani. Bardi dikenal oleh teman-teman pekerjanya seseorang yang baik, wajahnya berjenggot dan berkumis menggambarkan ia begitu bijaksana. Ia dan Suryani menikah sudah sekitar dua tahun, dan ini pertama kalinya mereka mendapati calon bayi yang nantinya akan menjadi anak mereka. Kehidupan mereka berdua sangat sederhana. Tapi tiba-tiba menjelang kelahiran Ani suami yang dibanggakannya meninggal karena kecelakaan. Ia bertabrakan dengan truk yang membawa batuan.

Meninggalnya Bardi menyebabkan Suryani terpaksa membiayai pemakaman dan semua keperluan kandungannya. Ia tak percaya atas apa yang terjadi. Suaminya tak bisa melihat anaknya yang pertama. Entah perempuan atau laki-laki.

Saat itu Suryani benar-benar terpukul, kandungannya sudah sembilan bulan. Dan sebenarnya sudah tinggal menunggu kelahiranya. Suryani bingung dengan keadaan itu. Ia tak punya siapa-siapa. Bayi yang dikandungnya tak ada artinya bila suaminya meninggal.

Untuk biaya kelahiran Ani, ia menjual rumah sederhananya, karena tabungan yang ada selama ini habis untuk biaya penguburan Bardi dan biaya kehidupan sehari-hari. Uang hasil menjual rumah ia bayarkan untuk mengontrak rumah dan sisanya ia gunakan untuk modal usaha berjualan. Saat itu Suryani masih punya semangat ntuk menghidupi bayinya. Akan tetapi ternyata dagangannya tidak laris, maka ia pun menyerah dan berhenti berjualan. Dengan kondisi yang seperti itu Surayani terpaksa berhutang pada seorang laki-laki yang tak begitu dikenalnya. Tapi yang ia dengar ia sanggup memberi uang pinjaman dengan bunga yang ringan. Dia-pun meminjam uang tanpa tahu siapa sebenarnya laki-laki itu.

Waktu untuk membayar hutang telah tiba, Suryani tak sanggup membayar hutang, sekalipun bunga itu kecil. Laki -laki itu pun mengancamnya, tapi ia boleh tidak membayar hutang dengan syarat ia harus mau melayani laki-laki lain. Dengan kata lain ia harus mau melacur. Tanpa daya apapun Suryani hanya bisa mengikuti kemauan laki-laki yang ternyata germo itu. Beberapa bulan telah ia jalani dengan menjual tubuhnya. Anaknya yang masih kecil hanya ia titipkan kepada orang lain dengan bayaran. Terus-menerus sampai sekarang, dan kini Ani yang sudah berumur dua belas tahun.

Satu jam sudah Ani berdiam seperti orang yang ling-lung. Ia mencoba mengumpulkan tenaga untuk berjalan keluar rumah dan selanjutnya pergi ke perempatan. Apa boleh buat. Ia hanya sebuah boneka yang berjalan. Berjalan tanpa pikiran di otaknya. Sampai di perempatan mukanya tetap musam dan muram. Pagi itu rasa lapar yang dialami Ani begitu hebat, badanya bergetar tak karuan. Tanpa sengaja Ia merogoh sakunya, ternyata ada uang seribu rupiah sisa kemarin. Tanpa pikir panjang ia membeli minuman dan sebatang pisang, dengan berharap bisa menggajal perutnya.

Hari seperti biasanya, panas dan penuh debu. Namun, perempatan begitu sepi, lalu-lalang yang terjadi tak seperti biasa. Sampai siang hanya ada beberapa motor yang lewat. Sepertinya ada sesuatu yang membuat para pengendara mobil enggan lewat perempatan. Benar saja, tiba-tiba banyak sekali mahasiswa yang berdatangan, mereka membawa sepanduk penolakan proyek yang kabarnya akan menimbulkan limbah yang beracun. Mereka bernyanyi-nyanyi melantunkan yel-yel penolakan di tengah perempatan. Kehadiran puluhan mahasiswa itu memacetkan jalan, sehingga para pengendara berhenti.

Sementara jalanan yang mulai penuh, Ani tak tahu apa yang dilakukan orang-orang itu, dia tidak tahu apa maksud tulisan pada spanduk itu karena ia tidak pernah sekolah. Dengan terpana melihat kejadian itu. kini ia hanya duduk dengan lemah di bawah pohon dekat perempatan. Ia begitu bingung dengan keadaan yang ada. Keadaan ini memberikan dorongan Ani untuk pulang, karena mungkin akan ada kerusuhan. Ia berniat pulang, namun mengingat hari ini ia belum mendapatkan apa-apa maka lagi-lagi ia urungkan niatnya lantaran terbayang ibunya yang marah.

Hiruk pikuk yang ada di perempatan mulai memanas, sebuah truk yang mengangkut puluhan polisi mulai berdatangan, mereka turun dan membentuk barisan mengusir mahasiswa. Mahasiswa yang tidak terima bercek-cok dengan polisi. Kedua belah pihak seakan siap berperang.

Ani dengan keadaan lemas mencoba berdiri, menghindari konflik yang mulai bermunculan. Sekarang ia benar-benar ingin pulang. Tubuhnya sudah tidak kuat menahan panas matahari. Dengan tergopoh-gopoh ia berjalan menuju rumahnya. Ia tak perduli lagi akan apa yang terjadi nanti ia pulang dan ibunya mendapati ia tak mendapatkan uang. Apa yang akan terjadi diperempatan pun ia tak peduli. Otaknya sungguh tak mampu untuk berpikir. Yang ia tahu hanya pulang dan pulang. Badanya dipaksanya menopang badan yang kurus. Dengan pandangan yang kosong ia berjalan. Sesekali berhenti bersandar pada pohon di pinggir jalan.

Beberapa waktu kemudian ia sampai di rumah, masih dengan tubuh yang sangat lemah ia masuk dalam kamar dan berbaring. Tak sanggup lagi ia berkata apapun bahkan untuk berpikirpun ia tak sanggup. Matanya kosong menatap atap rumah. Nafasnya begitu berat. Tanpa sadar matanya telah tertutup karena lelah yang amat sangat. Dua hari ini begitu melelahkan. Dua hari ini Ani tak makan apapun, setelah sehari sebelumnya ia juga tidak makan. Badanya menjadi sangat kecil dan hitam, tubuhnya yang mungil kini terbaring di atas kasur yang keras. Wajahnya dulu terlihat segar kini terlihat pucat dengan bibir yang pecah. Sepertinya ia sudah di ujung batas. Sepertinya tubuhnya tak sanggup lagi menopang tubuh walau tubuh itu kecil. Hatinya juga sudah tak sanggup mengangkat beban hidup yang telah digariskan. Mungkin ketika ia terbangun lagi nanti, ia akan merasa lebih baik, dimana tak akan ada lagi orang yang memarahinya.

Benar saja, wajahnya mulai membiru dan tubuhnya menjadi dingin. Sekarang ia telah mendapatkan kedamaian atas hari-harinya yang penuh beban. Ia akan aman di sana tanpa suara bising motor dan mobil. Tanpa berdiri di bawah matahari yang membakar kulitnya. Ia tak akan lagi merasa lapar, selamanya.
Thanks for reading Cerpen - Dua hari sebelumnya

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »